Senin, 24 Februari 2014

Melatih Siswa Berpikir Kritis


(Oleh: Muhammad Ruslan)
Pada dasarnya berpikir adalah kodrat manusia, berpikir tiada lain merupakan proses manusia bernalar, musabab lahirnya pengetahuan. Semakin manusia bernalar/berpikir maka sistem syaraf akan semakin berkembang lebih cepat ketimbang kurangnya mobilitas manusia untuk bernalar justru akan mengendurkan syaraf-syaraf otak. Hal ini bagaikan pisau yang selalu diasah akan semakin tajam  begitupun sebaliknya ketika dibiarkan akan berkarat yang berujung pada ketumpulan.
Sekolah pada dasarnya adalah ruang yang hadir untuk mengasah kemampuan anak didik tersebut, baik dari segi intelektual saintis, emosional maupun spiritual. Sekolah tentunya bukan sekadar wadah yang memperantarai proses ‘’pemindahan’’ pengetahuan dari sang guru kepada anak didik, melainkan mengembangkan segala potensi siswa untuk memahami kehidupan sesungguhnya, dari sanalah terbentuk proses pematangan kesadaran baik yang ranahnya intelektual, emosional maupun spiritual. Proses ini terbentuk lewat interaksi yang terbangun antara guru dengan siswa, maupun siswa dengan siswa.
berpikir kritis
Rendahnya partisipasi siswa dalam kelas sebenarnya pertanda bahwa sistem pengajaran belumlah sepenuhnya mengarah pada proses pematangan kesadaran siswa. Sistem pengajaran seperti ini masih mengandalkan paradigma lama yang memandang guru dan murid dalam kerangka subjek-objek yang terpisah, ruang yang memisahkan tiada lain adalah otoritas[1]. Sehingga model pengajaran cenderung monolog dan linear, terpusat pada satu arah, dimana murid sebagai objek selalu dipersepsi sebagai kertas kosong yang pasif yang akan diisi oleh otoritas guru sebagai pihak yang aktif. Otoritaslah yang menjadikan siswa menerima pengetahuan secara mentah (dogma[2]) tanpa dinalar sehingga yang tercipta adalah siswa yang mengetahui materi pelajaran tapi tidak memahami. Sehingga ketika sang guru memberikan ujian sebagai evaluasi, banyak siswa yang justru tidak mampu untuk menjawab dengan benar. Itu berarti siswa belum memahami. Banyak diantara kita menyebut fenomena tersebut karena ‘’pendeknya memori siswa untuk mengingat pelajaran’’, padahal sesungguhnya ini bukan persoalan memori (dalam artian lupa) tapi ini terkait dengan apakah siswa memahami secara utuh atau tidak. Metode non-partisipatif tersebut memang lebih banyak menjebak siswa dalam pengetahuan temporer dan insidentil.
Sebab metode non-partisipatif tidak memungkinkan siswa untuk di ajak dalam berpikir, tidak terjadi model dialogis, antara guru dan siswa, maupun siswa dengan siswa tidak terjadi pertukaran, yang berarti partisipasi siswa sangat minim. Indikator partisipasi siswa sesungguhnya paling tidak bisa dilihat dari faktor seberapa aktif siswa dalam memberi pernyataan ataupun pertanyaan, dan seberapa sering ia dilibatkan dalam bernalar.
Model pengajaran yang tidak partisipatif tidak hanya membelenggu perkembangan otak siswa, juga bisa cepat menciptakan rasa jenuh, sehingga konsentrasi siswa menjadi tidak fokus, yang ada hanya siswa mengangguk yang belum tentu menandakan siswa tersebut mengerti, mengangguk adalah cara cepat siswa untuk menyambut jam pulang agar terasa lebih cepat. Jam pulang solah menjadi ‘’jam kemerdekaan’’ bagi siswa. Pertanyaannya pernahkah kita mendapatkan suatu kesempatan melihat siswa yang justru tidak ingin pulang atau mengabaikan jam pulang demi rasa tertarik yang begitu besar terhadap mata pelajaran?  Kalau belum pernah merasakan hal tersebut, penting kiranya untuk melakukan otokritik[3], merefleksikan kembali metode pengajaran yang selama ini kita gunakan.
Rendahnya partisipasi siswa dalam kelas bukanlah disebabkan oleh faktor siswa, sebab pada hakikatnya manusia (termasuk siswa) memiliki fitrah curosiotas dalam dirinya masing-masing yakni rasa ingin tahu yang besar terhadap segala sesuatu. Persoalannya adalah apakah metode pengajaran hari ini berhasil menyentuh sisi curosiotas tersebut atau tidak? ataukah justru sebaliknya justru menyumbat curosiotas siswa untuk memiliki rasa ingin tahu tersebut. Dalam artian banyak hal secara sadar ataupun tidak sadar yang menjadi variable faktor yang menyebabkan tersumbatnya rasa ingin tahu siswa terhadap hal yang baru, hal ini bukan sesuatu yang natural melainkan sesuatu yang diciptakan oleh sistem yang kita buat dalam melakukan proses pengajaran (KBM). Diantaranya:



  1. Model pengajaran yang monotong (satu arah) dengan ‘’ceramah’’ sebagai satu-satunya metode yang mendominasi. Dengan menganggap diamnya siswa sebagai prestasi, pendengar setia atas ‘’lirik’’ ceramah sang guru. Siswa diposisikan sebagai gelas kosong yang siap menampung tumpahan ilmu sang guru. Tidak terjadi aktualitas khendak bagi siswa, yang eksisthanyalah khendak sang guru sebagai subjek yang mengendalikan keseluruhan proses belajar-mengajar. Yakni ketika guru mengajar maka siswa belajar, guru berpikir maka siswa dipikirkan, guru menerangkan maka siswa mendengarkan, guru mengatur maka siswa diatur, guru berkhendak maka siswa menuruti, konsekuensinya guru tahu segala-galanya justru siswa yang tidak tahu apa-apa.
  2. Ketegangan-ketegangan yang dirasakan siswa dalam kelas yang berujung pada rasa minder, grogi, tidak percaya diri bahkan rasa takut. Ketegangan-ketegangan muncul disebabkan pengkondisian kelas tidak terpenuhi secara maksimal, ekspresi yang tidak bersahabat dari guru sangat mempengaruhi psikologi siswa dalam kelas. Ekspresi yang tidak bersahabat bisa saja muncul dari guru maupun siswa yang sebenarnya merupakan imitasi atau bawaan dari pengaruh psikologi dirumah sebelum berangkat ke sekolah, ataupun karena terperangkap dalam kebiasaan, dan labelitas yang sudah melekat lama seolah telah menjadi identitas[4]. Sehingga ketegangan yang mucul tidak memungkinkan siswa untuk berpartisipasi apa lagi kritis dalam menyerap pengetahuan.
  3. Penguasaan panggung kelas dalam artian mobilitias gerak dalam pengajaran sangat minim dapat mengurangi rasa ketertarikan siswa dalam menerima pelajaran. Sehingga kadang membuat siswa mencari ketertarikan sendiri diluar dari yang diharapkan seperti mengganggu teman untuk memilih perhatian lain atau bergerak sendiri (kiri-kanan) tanpa tujuan yang tepat.
  4. Pengkombinasian seni intonasi suara dan gesture[5] yang tepat dapat lebih memudahkan bukan hanya untuk menarik perhatian siswa secara maksimal juga memudahkan penyampaian informasi kepada siswa termasuk bagaimana melibatkan siswa secara partisipatif. Sebab pada dasarnya bahasa adalah realitas semantic yang terbatas, yang tidak dapat secara utuh mengungkapkan informasi (pengetahuan), itulah sebabnya bahasa harus ditopang oleh gesture yang tepat.
  5. Pengemasan materi yang menarik sangat menentukan tersampaikannya informasi/pengetahuan. Pengemasan materi sebenarnya merupakan bentuk pentaktisan ataupun penyederhanaan content materi, sesuai dengan kemampuan siswa dalam menyerap. Pengkontekstualisasian materi terhadap kehidupan sehari-hari adalah salah satu bentuk penyederhanaan materi, sedangkan penggunaan media pembelajaran merupakan salah satu bentuk pengemasan materi secara taktis.
  6. Menggunakan dunai kita (dewasa) dalam berinteraksi dengan anak justru akan mengaburkan informasi atau terjadi miskomunikasi satu sama lain. Oleh karenanya untuk berinteraksi dengan anak didik haruslah menggunakan dunia anak itu sendiri, memasuki dunia anak adalah cara dan metode yang harus dipakai untuk menyampaikan pengetahuan.
  7. Pentingnya memberi penghargaan pada anak sangat menentukan partisipasi anak dalam belajar. Menghindari bentuk penghakiman-penghakiman yang ujungnya justru membuat anak merasa takut dan tidak percaya diri. Menempatkan anak pada derajat yang sama, menghindari tindakan pengklusteran anak berdasarkan pembedaan tingkat kecerdasan (pintar-bodoh), serta meminimalisir hukuman yang sifatnya dapat membuat anak merasa dipermalukan (khususnya dihadapan siswa yang lainnya).
  8. Lebih banyak memberi pernyataaan ketimbang pertayaan adalah metode pengajaran yang paling umum, sekaligus yang paling dominan membuat anak menjadi pasif. Oleh karenanya salah satu bentuk metode untuk meningkatkan partisipasi anak dalam pengajaran adalah dengan lebih menekankan pertanyaan ketimbang pernyataan. Dalam artian siswa dalam posisinya diajak untuk bernalar dan berpikir sendiri baik secara individu maupun secara kolektif lewat pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dalam kapasitas daya serap anak yang bersangkutan. Sang guru dalam posisinya adalah fasilitator yang memediasi anak untuk memahami dan menemukan sendiri pengetahuan lewat kerangka arahan yang jelas. Untuk model pengajaran seperti ini, guru haruslah siap untuk menerima pernyataan-pernyataan dari siswa tanpa harus membelenggu kebebasan siswa untuk memberi pernyataan, sekaligus kesiapan untuk menerima pertanyaan-pertanyaan siswa secara terbuka dan bijaksana.
Sebab bijaksananya dalam belajar hakikatnya tidak ada jawaban yang salah, sebab belajar adalah ‘’proses’’. Yang salah ketika kita tidak siap untuk salah dan tidak siap menerima kesalahan. Banyak diantra kita (baca: guru) justru tidak siap menerima kesalahan siswa, dengan menafikan bahwa ke-salah-an sesungguhnya adalah pijakan ke-benar-an.
Muhammad Ruslan
Fasilitator Sekolah Guru Indonesia
Mantan ketua umum HMI kom. Ekonomi UNHAS Makassar

  • [1]  Otoritas merupakan ‘’kekuasaan’’, yang memungkinkan pihak yang memiliki otoritas dapat mengendalikan objek.
  • [2]  Merupakan model pengetahuan yang di produksi oleh otoritas. Dalam artian pengetahuan diterima tanpa di nalar. Nilai kebenaran pengetahuan tidak terletak pada kebenaran pengetahuan itu sendiri tetapi diletakkan diatas otoritas, dalam artian pengetahuan dogmatic terjadi ketika siswa menerima kebenaran pengetahuan bukan lantas ia memahami dengan baik tetapi pengetahuan diakui kebenarannya karena ia  memandang kebenaran pengetahuan terletak pada otoritas yang memberi pengetahuan itu sendiri dalam hal ini adalah guru.
  • [3]   Otokritik disebut sebagai kritik internal yakni pihak bersangkutan berusaha merefleksikan diri, mengkritik diri sendiri dalam keadaan sadar atau menginternalisasi kritik dari luar untuk dijadikan sebagai dasar untuk lebih sempurna ke depannya.
  • [4]  Ada kalanya siswa ketika mempersepsi guru, maka persepsi siswa tidak lepas dari kebiasaan guru dalam berinteraksi dengan siswanya. Hal tersebut menjadi identitas guru di hadapan siswanya. Begitupun halnya kebiasaan sang guru membentuk identitas pula dalam dirinya sebagai sebuah pengtipologian karakter guru sebagai identitas yang diakui untuk memperkenalkan dirinya yang khas dalam mendidik. Inilah yang dimaksud identitas yang diakui terbentuk karena kebiasaan ataupun pengtipologian karakter guru dihadapan siswanya. Misalnya ada beberapa guru yang menganggap banyak ‘’marah’’ sebagai tipologi khas baginya dalam mendidik anak, sehingga hal tersebut membutuhkan waktu, dan komitmen untuk mengubah diri dari kebiasaan tersebut, atau mencari bentuk pengtipologian khas lainnya membutuhkan kesadaran,komitmen untuk merubah diri.
  • [5]   Gesture merupakan Gerak tubuh yang inheren dengan ucapan. Kombinasi antara suara dan gerak tubuhlah yang memunculkan makna dalam komunikasi.


Read more: http://www.pustakasekolah.com/melatih-siswa-berpikir-kritis.html#ixzz2uJK1RnhV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar